FAJARTV.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi B DPRD Sulawesi Selatan, Heriwawan, dalam kunjungannya bersama rombongan Komisi B, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, serta Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulsel, yang diterima langsung oleh Direktur Usaha Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ukon Ahmad Furkon, menyampaikan pandangannya terkait kebijakan pengadaan dan penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System/VMS) bagi nelayan di wilayahnya.
“Apabila kebijakan ini memang harus diterapkan oleh negara, maka negara juga tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang dibuat seharusnya berpihak kepada rakyat,” ujarnya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Selasa (3/6).
Menurut Heriwawan, solusi terbaik adalah mengambil jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ia mengutip pernyataan Direktur yang menjelaskan bahwa manfaat VMS, selain untuk kepentingan negara dalam mengendalikan lalu lintas perikanan di laut, juga berfungsi sebagai sarana pelayanan dan keselamatan bagi nelayan.
“Saya kira yang perlu dipikirkan adalah bagaimana pengadaan dan distribusi VMS dapat dicari solusinya secara bersama oleh tiga pihak, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan nelayan itu sendiri,” jelasnya.
“Apabila ketiga pihak mengambil bagian tanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan ini, saya yakin pelaksanaannya akan lebih mudah dan para nelayan juga dapat terbantu, khususnya dalam hal pengadaan alat. Karena ini merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah pusat sebaiknya menyediakan alat tersebut atau mencari model alternatif agar ada solusi yang meringankan pelaku usaha dan nelayan,” tambah legislator Partai Demokrat Sulsel ini.
Terkait kebijakan kuota kapal di bawah 30 GT (Gross Tonnage), Heriwawan menilai kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali.
“Apabila memungkinkan, sebaiknya tidak perlu diberlakukan kebijakan kuota tersebut. Sebab kapal di bawah 30 GT umumnya bukan dimiliki oleh pelaku usaha perikanan besar, melainkan oleh perorangan yang menggantungkan kehidupannya sehari-hari pada kapal tersebut,” katanya.
Heriwawan berharap adanya perhatian serius dari para pemangku kepentingan, terutama dari pihak Direktorat terkait, agar persoalan ini tidak berkembang menjadi polemik yang berkepanjangan.
Selain itu, ia juga menyoroti kondisi pelabuhan perikanan di Sulawesi Selatan yang banyak mengalami kerusakan serta keterbatasan fasilitas.
“Kami telah melakukan banyak kunjungan ke pelabuhan-pelabuhan di Sulsel, dan kondisinya sangat memprihatinkan. Pemerintah provinsi tampaknya belum mampu melakukan rehabilitasi pelabuhan secara optimal. Kami berharap ada dukungan dari kementerian untuk membangun Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) di Sulawesi Selatan,” ungkapnya.
Heriwawan juga mengingatkan bahwa saat turun ke daerah pemilihan, ia kerap berinteraksi langsung dengan masyarakat pesisir.
“Beberapa waktu lalu, pemerintah pusat memberikan bantuan kapal kecil. Kami berharap rekan-rekan di tingkat provinsi dapat membantu memperluas jangkauan bantuan tersebut. Kami juga telah menyampaikan agar anggaran yang lebih besar dan ruang lingkup yang lebih luas dapat disiapkan agar daerah-daerah dapat menerima bantuan yang memadai,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Usaha Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP, Ukon Ahmad Furkon mengajak semua pihak untuk tidak memposisikan diri semata-mata dalam posisi menolak regulasi.
“Jangan sampai kita menolak aturan padahal isinya belum dipahami secara utuh. Di waktu yang sama, ada provinsi lain seperti Maluku justru mendesak kami agar kebijakan penangkapan ikan terukur ini segera diberlakukan penuh,” jelasnya.
Salah satu poin penting dalam kebijakan penangkapan terukur adalah kewajiban mendaratkan ikan di zona tempat kapal menangkap, misalnya di zona 3 (Maluku), agar manfaat ekonomi dapat menggerakkan daerah setempat. Namun, saat ini ketentuan tersebut masih diberi relaksasi oleh pemerintah.
“Pasarnya di wilayah timur, seperti Maluku, memang belum siap. Kami sudah berusaha mendekati calon pembeli dan investor, tetapi sampai 2024 belum berhasil sepenuhnya. Karena itu, penerapan penuh untuk zona ini belum diberlakukan hingga 2025,” ungkapnya.
Terkait dengan kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS), ia menegaskan bahwa aturan tersebut bukan hal baru.
“Itu sudah tertuang dalam UU Perikanan sejak 2004 dan direvisi pada 2009. Kewajiban memasang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) sudah ada sejak dulu. PP 11 Tahun 2023 hanya menegaskan kembali kewajiban itu karena implementasinya sudah sangat tertunda,” katanya.
Menurutnya, hingga saat ini pun pemerintah masih dalam tahap transisi implementasi, dan berupaya menghadirkan solusi terbaik.
“Soal harga VMS, kami dorong agar banyak pilihan, sehingga harganya kompetitif dan tidak memberatkan,” pungkasnya.