Menu

Mode Gelap
Kunjungi Command Center, Wamendagri Puji Inovasi Wali Kota Munafri dan Kadis Kominfo Roem MC Se-Kabupaten Pinrang Hidupkan Lagi PAKI sebagai Ruang Kolaborasi KAHMI se-Sulawesi Serukan Gerakan Moral dan Intelektual Bertajuk “Sulawesi Menggugat” Retret Lurah se-Kota Makassar, Aliyah Mustika Ilham Tekankan Loyalitas dan Integritas Rayakan HUT ke-61, Golkar Sulsel Tebar Kepedulian Lewat Anjangsana Sosial Mohammad Rifki Ajak KAHMI Sulawesi Berikan ‘Gugatan’ untuk Perubahan Nasional

Opini

Menagih Janji, Menggugat Arah Kepemimpinan: Refleksi 100 Hari Kerja Gubernur Sulsel

Avatar photobadge-check


					Menagih Janji, Menggugat Arah Kepemimpinan: Refleksi 100 Hari Kerja Gubernur Sulsel Perbesar

Oleh: Heriwawan

(Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sulsel dan Anggota DPRD Fraksi Demokrat Sulsel)

Pelantikan Gubernur Sulawesi Selatan pada 20 Februari 2025 menandai awal dari sebuah tanggung jawab besar yang tidak sekadar administratif, tetapi juga moral. Dalam tradisi demokrasi, seratus hari pertama bukan hanya ritus birokrasi, melainkan cermin integritas dan arah dasar pemerintahan. Di titik inilah janji kampanye diuji, apakah ia menjelma menjadi kebijakan, atau menguap dalam retorika?

Langkah awal seperti pemangkasan anggaran Rp242 miliar dan penerapan kerja fleksibel bagi ASN patut dicatat. Namun kita harus mengajukan pertanyaan mendasar, efisiensi untuk siapa, dan fleksibilitas untuk apa? Jika pelayanan publik masih tersendat dan masyarakat pelosok tetap kesulitan mengakses layanan dasar, maka efisiensi hanyalah kosmetik yang menutupi stagnasi.

Salah satu indikator penting untuk menilai keseriusan pemerintahan baru adalah dokumen RPJMD 2025–2029. Seharusnya, inilah pijakan strategis untuk mewujudkan visi “Sulsel Maju dan Berkarakter.” Namun sayangnya, dokumen ini lebih menyerupai katalog teknokratis, datar, dan minim imajinasi sosial. Ia tidak berbicara tentang perubahan, tidak menggugah kesadaran, dan tak menyentuh problem dasar ketimpangan wilayah, krisis pangan, atau ancaman ekologis. Terlalu steril dari partisipasi rakyat, terlalu nyaman dengan tambal sulam dokumen masa lalu.

Ini bukan tuduhan tanpa dasar. Data APBD 2025 menunjukkan belanja daerah mencapai Rp9,214 triliun, namun mayoritasnya tersedot untuk gaji ASN dan operasional OPD. Kebutuhan nyata seperti subsidi pertanian, dukungan UMKM, dan layanan kesehatan justru terpinggirkan. Anggaran menjadi ruang eksekusi teknokratis, bukan wujud keberpihakan politik. Alih-alih menjadi alat distribusi keadilan, ia justru mempertahankan status quo.

Ambil contoh anggaran Dinas Koperasi dan UMKM sebesar Rp15,7 miliar. Sayangnya, hampir seluruhnya habis untuk belanja pegawai. Retorika pemberdayaan rakyat kecil berakhir di meja rapat, tak pernah sampai ke tangan pelaku usaha mikro.

Di sisi lain, capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas LKPD 2024 memang pantas diapresiasi. Namun, penghargaan administratif tak seharusnya menjadi tujuan akhir. WTP adalah syarat minimal dari tata kelola. Jika anggaran tak menyentuh kebutuhan mendasar rakyat, maka WTP hanya jadi medali kosong, terlihat cemerlang, tapi tak berguna bagi mereka yang lapar, sakit, atau terpinggirkan.

Yang lebih memprihatinkan, Gubernur dan Wakil Gubernur acap kali absen dalam forum paripurna DPRD. Ketidakhadiran ini bukan hanya persoalan jadwal, tapi juga simbol lemahnya etika politik, ketidaksediaan berdialog, menghindari pertanggungjawaban, dan memutus komunikasi antarlembaga. Jika parlemen diposisikan sebagai “bukan siapa-siapa,” maka demokrasi kehilangan denyut utamanya.

Kita patut bertanya, ke mana arah kepemimpinan ini? Apakah sekadar mengelola birokrasi, atau berani menempuh jalan sulit demi keberpihakan rakyat? Apakah cukup bersembunyi di balik narasi teknokratik, ataukah sanggup membangun ruang partisipasi substantif? Kepemimpinan yang bermutu tidak lahir dari keluwesan protokol, tapi dari keberanian memikul beban etis kekuasaan.

Masih ada waktu. Janji “Sulsel Maju dan Berkarakter” menuntut lebih dari sekadar spanduk dan baliho. Ia menuntut kerja ideologis, keberanian merumuskan ulang orientasi pembangunan, memperbaiki RPJMD yang kering imajinasi, dan memfungsikan anggaran sebagai instrumen keadilan sosial.

Catatan ini bukan bentuk perlawanan, melainkan ekspresi tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Kami tidak anti pada pemerintah. Yang kami tolak adalah ketidakhadiran negara dalam denyut kehidupan rakyat. Maka semoga kritik ini dibaca bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai ajakan untuk kembali ke rel konstitusi dan janji perubahan.

Tak lupa, kami juga mendoakan keselamatan Gubernur yang sedang menjalankan ibadah haji. Semoga kembali dengan kesehatan prima dan semangat baru untuk menunaikan amanah dengan langkah konkret, bukan sekadar simbolik.

Salamakki tapada salamak.

Fastabiqul Khairat!

Mari Berlomba-lomba dalam Kebaikan!

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Membaca Teriakan “Bubarkan DPR”

30 Agustus 2025 - 10:54 WIB

Ajakan Duduk Semeja dengan Tokoh Kritis, mencerminkan Kepemimpinvan Prabowo yang Otentik

13 April 2025 - 21:31 WIB

Mengapa Harus Menata Distribusi Penjualan Gas Melon?

6 Februari 2025 - 15:19 WIB

Money Politics Racun bagi Demokrasi

26 November 2024 - 09:39 WIB

TABE’ AURAMA’ Layak Pimpin Gowa

11 Oktober 2024 - 23:51 WIB

Trending di Opini